Selasa, 28 Mei 2013

Kebudayaan Suku Anak Dalam

Kebudayaan Suku Anak Dalam

Indonesia adalah salah satu Negara yang memiliki ribuan suku bangsa ya ng beraneka ragam. Masing-masing daerah saling mempengaruhi dan dipengaruhi oleh kebu dayaan daerah lain atau kebudayaan yang berasal dari luar. Salah satu kebudayaan tersebut adalah Suku Anak Dalam. Suku Anak Dalam terdapat di daerah Jambi dan Sumatera Selatan. Suku Anak Dalam belum terlalu dikenal oleh masyarakat Indonesia karena Suku Anak Dalam sudah sangat langka dan mereka tinggal di tempat-tempat terpencil yang jauh dari jangkauan orang-orang
Suku Anak Dalam disebut juga Suku Kubu tau Orang Rimba. Menurut tradisi lisan suku Anak Dalam merupakan orang Malau sesat yang lari ke hutan rimba disekitar Air Hitam, Taman Nasional Bukit Duapuluh. Mereka kemudian dinbmakan Moyang Segayo. Sistem kemasyarakatan mereka , hidup mereka secara nomaden atau tidak menetap dan mendasarkan hidupnya pada berburu dan meramu, walaupun diantara mereka sudah banyak yang telah memiliki lahan karet ataupun pertanian lanilla.
Sistem kepercayaan mereka adalah Polytheisme yaitu mereka mempercayai banyak dewa. Dan mereka mengenal dewa mereka dengan sebutan Dewo dan Dewa. Ada dewa yang baik adapula dewa yang jahat. Selain kepercayaan terhadap dewa mereka juga percaya adanya roh nenek moyang yang selalu ada disekitar mereka.
Suku Anak Dalam juga Sangay antusias terhadap pendidikan. Mereka sangat bersemangat mengikuti belajar di sekolah. Tak hanya anak-anak saja yang bersekolah akan tetapi juga orang dewasa pun mengikutinya. Mereka berpikir bahwa dengan bersekolah mereka akan pintar dan tak mudah untuk dibodohi oleh orang luar.
Hal-hal yang telah diuraikan diatas menurut saya sangat menarik sehingga saya akan mengangkat makalah dengan judul “Kebudayaan Suku Anak Dalam”Suku Anak Dalam merupakan salah satu Komunitas Adat Terpencil ( KAT ) yang ada di Propinsi Jambi yang mempunyai permasalahan spesifik. Jika kita melihat pola kehidupan dan penghidupan mereka, hal ini disebabkan oleh keterikatan adat istiadat yang begitu kuat. Hidup berkelompok dengan pakaian hanya sebagian menutupi badan dengan kata lain mereka sangat tergantung dengan hasil hutan / alam dan binatang buruan.
A.Penyebutan Orang Rimba / Orang Kubu
Penyebutan terhadap Orang Rimba perlu untuk diketahui terlebih dahulu, karena ada tiga sebutan terhadap dirinya yang mengandung makna yang berbeda, yaitu : Pertama KUBU, merupakan sebutan yang paling populer digunakan oleh terutama orang Melayu dan masyarakat Internasional. Kubu dalam bahasa Melayu memiliki makna peyorasi seperti primitif, bodoh, kafir, kotor dan menjijikan. Sebutan Kubu telah terlanjur populer terutama oleh berbagai tulisan pegawai kolonial dan etnografer pada awal abad ini. Kedua SUKU ANAK DALAM, sebutan ini digunakan oleh pemerintah melalui Departemen Sosial. Anak Dalam memiliki makna orang terbelakang yang tinggal di pedalaman. Karena itulah dalam perspektif pemerintah mereka harus dimodernisasikan dengan mengeluarkan mereka dari hutan dan dimukimkan melalui program Pemukiman Kembali Masyarakat Terasing (PKMT). Ketiga ORANG RIMBA, adalah sebutan yang digunakan oleh etnik ini untuk menyebut dirinya. Makna sebutan ini adalah menunjukkan jati diri mereka sebagai etnis yang mengembangkan kebudayaannya yang tidak bisa lepas dari hutan. Sebutan ini adalah yang paling proposional dan obyektif karena didasarkan kepada konsep Orang Rimba itu sendiri dalam menyebut dirinya.
Suku Anak Dalam masih berpaham animisme. Mereka percaya bahwa alam semesta memiliki banyak jenis roh yang melindungi manusia. Jika ingin selamat, manusia harus menghormati roh dan tidak merusak unsur-unsur alam, seperti hutan, sungai, dan bumi. Kekayaan alam bisa dijadikan sumber mata pencarian untuk sekadar menyambung hidup dan tidak berlebihan.Hingga kini suku Anak Dalam masih mempertahankan beberapa etika khusus
Kehidupan Suku Anak Dalam makin Terancam
Alih fungsi hutan di Jambi menjadi ancaman serius bagi kehidupan orang rimba atau biasa disebut suku anak dalam.

"Alih fungsi lahan yang membabi buta menjadikan ruang kehidupan orang rimba di Jambi semakin sempit. Kondisi ini menyebabkan konflik humanistik," ujar Direktur Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, Rakhmad Hidayat, di Jambi, Jumat (10/2).

Menurut dia, alihfungsi kawasan hutan baik oleh perorangan maupun perusahaan di Jambi sudah terjadi sejak dua dekade terakhir. Warsi Jambi mencatat lebih dari 853.430 hektar kawasan hutan di Jambi beralihfungsi dan dikelola perusahaan melalui izin HTI maupun HPL.

"Jumlah itu belum ditambah alihfungsi oleh masyarakat untuk dijadikan perkebunan seperti sawit dan karet. Selain menimbulkan degradasi hutan, kondisi ini juga sangat riskan menimbulkan konflik kemanusiaan. Khususnya bagi orang rimba Jambi," jelasnya.

Lebih lanjut dia mengatakan, orang rimba Jambi menempati beberapa daerah pedalaman kabupaten di Provinsi Jambi seperti Kabupaten Batanghari, Tebo, Sarolangun, sebagian Kabupaten Bungo dan Kerinci.

Warsi Jambi juga mencatat sedikitnya ada tiga kasus besar yang melibatkan orang rimba dan menyebabkan tiga orang rimba meninggal dunia dan selebihnya luka luka.

"Proses hukum terhadap orang rimba juga menjadi kredit tersendiri. Mengingat, kasus kasus pembunuhan maupun pengeroyokkan kepada orang rimba proses hukumnya tidak jelas," ujarnya lagi.(Ant/DSY).
Suku Kubu atau juga dikenal dengan Suku Anak Dalam atau Orang Rimba adalah salah satu suku bangsa minoritas yang hidup di Pulau Sumatra, tepatnya di Provinsi Jambi dan Sumatra Selatan. Mereka mayoritas hidup di propinsi Jambi, dengan perkiraan jumlah populasi sekitar 200.000 orang.
Menurut tradisi lisan suku Anak Dalam merupakan orang Maalau Sesat, yang m lari ke hutan rimba di sekitar Air Hitam, Taman Nasional Bukit Duabelas. Mereka kemudian dinamakan Moyang Segayo. Tradisi lain menyebutkan mereka berasal dari Pagaruyung, yang mengungsi ke Jambi. Ini diperkuat kenyataan adat suku Anak Dalam punya kesamaan bahasa dan adat dengan suku Minangkabau, seperti sistem matrilineal.
Secara garis besar di Jambi mereka hidup di 3 wilayah ekologis yang berbeda, yaitu Orang Kubu yang di utara Provinsi Jambi (sekitaran Taman Nasional Bukit 30), Taman Nasional Bukit 12, dan wilayah selatan Provinsi Jambi (sepanjang jalan lintas Sumatra). Mereka hidup secara nomaden dan mendasarkan hidupnya pada berburu dan meramu, walaupun banyak dari mereka sekarang telah memiliki lahan karet dan pertanian lainnya.
Kehidupan mereka sangat mengenaskan seiring dengan hilangnya sumber daya hutan yang ada di Jambi dan Sumatra Selatan, dan proses-proses marginalisasi yang dilakukan oleh pemerintah dan suku bangsa dominan (Orang Melayu) yang ada di Jambi dan Sumatra Selatan.
Mayoritas suku kubu menganut kepercayaan animisme, tetapi ada juga beberapa puluh keluarga suku kubu yang pindah ke agama Islam


sumber : http://smkyadikatkjjambi.blogspot.com/

Jenis-jenis Matapencaharian Suku Anak Dalam Kubu

Jenis-jenis Matapencaharian
a. Meramu

Meramu adalah mencari dan mengumpulkan hasil hutan, seperti: getah melabui, getah jelutung, getah damar, getah jernang, dan rotan. Mereka menyebut kegiatan ini berkinang atau berimbo. Caranya dengan beranjau, yaitu berjalan-jalan atau melakukan pengembaraan. Menemukan sesuatu yang dicari, apakah itu getah melabui, getah jelutung, dan atau rotan adalah sesuatu yang sangat erat kaitannya dengan tuah (keberuntungan). Hal itu disebabkan banyaknya jenis pohon, sehingga seringkali menutupi pohon yang dicari (tidak terlihat). Relatif sulit dan atau mudahnya menemukannya itulah yang kemudian membuahkan adanya semacam kepercayaan bahwa pohon-pohon tersebut mempunyai kekuatan gaib.

Berkinang atau berimbo biasanya dilakukan secara berkelompok (lebih dari satu orang) dan biasanya dilakukan oleh laki-laki. apabila di dalam hutan ada yang terpisah atau tertinggal, maka orang yang ada di depan akan memberi tanda dengan menancapkan sebatang kayu yang pada bagian atasnya dibelah dan diselipkan ranting. Pangkal ranting diarahkan ke suatu tempat yang akan dituju. Dengan demikian, orang yang ada di belakangnya akan tahu persis kemana harus menyusulnya. Jika ranting itu tidak disisakan daunnya, maka penyelipannya dilakukan agak miring ke atas. Bagian pangkal ranting yang miring ke atas itulah yang memberi petunjuk ke arah mana seseorang harus menyusulnya.

Cara yang mereka lakukan dalam mengambil atau mengumpulkan berbagai macam getah tidak jauh berbeda dengan pengumpulan getah karet, yaitu ditoreh sedemikian rupa sehingga getahnya keluar dan ditampung pada suatu tempat (biasanya tempurung kelapa). Sedangkan, cara mereka mengambil rotan adalah dengan menariknya. Dalam hal ini batang rotan yang telah dipotong pangkalnya ditarik melalui cabang pepohonan. Ini dimaksudkan agar ruas dan cabang-cabang kecilnya tertinggal atau jatuh karena tergesek cabang pepohonan, sehingga tidak banyak tenaga yang harus dikeluarkan pada saat membersihkannya.

b. BerburuSenjata yang mereka gunakan dalam berburu adalah tombak. Ada dua jenis tombak yang mereka miliki. Pertama, tombak yang panjangnya kurang lebih setinggi orang dewasa dan bagian mata tombaknya ber-berangko (diberi sarung). Tombak jenis ini oleh mereka disebut kujur berongsong. Cara menggunakannya adalah dengan memegang bagian tengahnya, kemudian dilemparkan (dengan satu tangan) ke sasaran. Kedua, tombak yang panjangnya hampir mencapai 3 meter. Di ujung tombak ini ada semacam pisau yang runcing yang kedua sisinya tajam (bentuknya lebih lebar dan lebih pendek daripada tombak jenis yang pertama). Cara mempergunakannya adalah tangan kanan memegang pangkalnya, kemudian tangan kiri menopangnya, baru dilemparkan ke arah sasaran (arahnya selalu ke arah kiri). Kedua jenis tombak tersebut matanya terbuat dari logam (besi) dan batangnya terbuat dari kayu tepis. Kayu ini disamping berserat, tetapi juga keras dan lurus, sehingga cocok untuk dijadikan sebagai batang tombak. Tombak biasanya digunakan berburu nangku (babi hutan), kera, rusa (kancil), napu, kijang (menjangan). Sebagai catatan, binatang-binatang tersebut terkadang ditangkap dengan cara penjeratan. Untuk berburu berbagai binatang tersebut biasanya mereka pergi daerah-daerah sumber air, karena kawanan binatang biasanya berdatangan kesana untuk suban (minum).

Selain tombak mereka juga menggunakan batang pohon yang berukuran sedang dan berat (garis tengahnya kurang lebih 30 cm), khususnya untuk menangkap gajah. Batang pohon tersebut dipotong sepanjang kurang lebih 10 meter, kemudian salah satu ujungnya diruncingi. Sedangkan, ujung lainnya diikat dengan rotan. Selanjutnya, digantung diantara pohon yang besar dengan posisi bagian yang runcing ada di bawah, dengan ketinggian kurang lebih 5 meter dari permukaan tanah. Rotan yang digunakan untuk mengikat salah satu ujung batang tadi dibiarkan menjulur sampai ke tanah. Maksudnya, jika ada gajah yang menginjak atau menariknya, maka gajah tersebut akan tertimpa atau kejatuhan batang kayu yang runcing itu. Sistem ini juga digunakan untuk menangkap harimau. Oleh karena itu, perangkap ini ditempatkan pada daerah yang biasa dilalui oleh gajah dan atau harimau. Perangkap ini oleh mereka disebut pencebung. Gajah juga dapat ditangkap dengan menggunakan perangkap yang berupa lubang yang cukup dalam dan ditutup dengan ranting serta daun-daunan. Sementara, untuk menangkap badak, mereka membuat parit yang panjangnya 10--15 rentangan tangan orang dewasa (depa). Parit yang lebarnya kurang lebih 1 meter ini semakin ke ujung semakin dalam (kurang lebih setinggi manusia dewasa). Dengan demikian, jika ada badak yang memasukinya, maka ia akan terperangkap karena tidak dapat meloncat atau berbalik.

c. Menangkap IkanKegitan lainnya yang ada kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan hidup adalah menangkap berbagai jenis ikan, termasuk udang dan ketam di sungai, dengan peralatan: pancing, jala, tombak, perangkap ikan (kubu-kubu), dan pagar-pagar ikan. Terkadang mereka nubo, yaitu menggunakan racun dari akar-akar nubo. Caranya akar-akar tersebut dimasukkan ke sungai, maka ikan akan mabuk dan terapung. Dengan demikian, tinggal mengambil dan memasukkannya ke sebuah wadah yang disebut dukung atau ambung1.

d. BerladangSistem perladangan yang diterapkan oleh orang Kubu adalah berpindah-pindah. Ada 3 faktor yang menyebabkan mereka melakukan perpindahan, yaitu: pergantian musim, semakin langkanya binatang buruan dan hasil sumber hutan lainnya, dan semakin tidak suburnya tanah garapan. Selain itu, kematian juga merupakan faktor yang pada gilirannya membuat mereka berpindah tempat. Hal ini yang erat dengan kepercayaan bahwa kematian adalah sesuatu yang dapat menimbulkan kesialan bagi kelompoknya. Untuk menghindari hal itu, maka mereka melakukan perpindahan. Dan, perpindahan yang disebabkan oleh adanya kematian disebut melangun.

Berladang adalah suatu proses. Sebagai suatu proses maka mesti dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan. Ada empat tahap yang mereka lalui dalam penggarapan sebuah ladang. Tahap yang pertama adalah pembukaan ladang. Kegiatan yang dilakukan dalam tahap ini meliputi penebasan pepohonan kecil, semak belukar, dan mengumpulkan tebasan ke tengah areal yang akan dijadikan sebagai ladang. Kemudian, membiarkannya selama kurang lebih dua minggu (14 hari) agar tebasan menjadi kering. Oleh karena itu, tahap yang pertama ini sering disebut sebagai menebas.

Tahap yang kedua adalah penebangan pepohonan. Peralatan yang digunakan hanya berupa parang dan beliung. Jika pohon yang akan ditebang relatif besar, maka penebangan dilakukan pada bagian atas pohon dengan yang lingkarannya relatif lebih kecil ketimbang bagian bawah pohon. Caranya adalah dengan mendirikan semacam panggung, sehingga mudah melakukannya. Jika pohonnya sedang-sedang saja, maka penebangannya cukup berdiri di atas tanah. Penebangan berbagai pohon, baik besar maupun sedang, tidak sampai pada pangkalnya, karena disamping tentunya pangkal batangnya lebih besar, tetapi yang lebih penting menurut kepercayaan mereka hal itu tidak boleh dilakukan (dilarang nenek moyang). Makna simbolik yang ada dibalik larangan itu adalah kelestarian. Artinya, apa saja yang ada di hutan tidak boleh dihabiskan. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika tonggak-tonggak batang pohon mewarnai ladang mereka. Pohon-pohon yang telah tumbang pada saatnya akan dibakar bersama semak belukar. Pembakaran tersebut bertujuan disamping agar tidak mengganggu tahap berikutnya, tetapi yang lebih penting adalah abunya dapat lebih menyuburkan laha.

Tahap yang ketiga adalah penanaman bibit. Sistem yang digunakan adalah tugal, dengan cara dua atau tiga orang laki-laki memegang sebatang kayu kecil yang kira-kira panjangnya 1,5 meter yang salah satu ujungnya runcing. Dengan tongkat itu mereka bergerak ke depan, membuat lubang-lubang yang dangkal. Sementara, dengan jumlah yang sama, perempuan mengikutinya sambil menebarkan bibit. Setiap lubang kurang lebih berisi 4—5 butir bibit. Sedangkan, anak-anak bertugas menutup lubang-lubang yang telah terisi oleh bibit. Jika segala sesuatunya lancar (setelah penanaman ada hujan), maka maka bibit tersebut akan tumbuh dalam waktu 4 atau 5 hari, sehingga 6 minggu kemudian, mereka dapat melakukan penyiangan (membersihkan rerumputan yang mengganggunya). Penyiangan dilakukan lagi pada bulan kedua. Dan, pondok ladang pun didirikan untuk menjaga tanaman dari berbagai serangan binatang liar atau burung.

Tahap keempat (terakhir) adalah menuai. Tahap ini dilakukan setelah padi menguning (kurang lebih setelah berumur 5 bulan). Caranya, padi yang telah menguning itu dipotong gagangnya dengan alat yang disebut tuai (ani-ani). Pekerjaan ini biasanya dilakukan oleh kaum perempuan. Sebelum disimpan dalam lubung, padi tersebut dikeringkan (dijemur) agar bisa tahan lama. (pepeng)

Sumber:Galba, Sindu. 2003. “Manusia dan Kebudayaan Orang Kubu” (Naskah Laporan Penelitian).

Asal Usul Suku Anak Dalam Kubu

Asal Usul Suku Anak Dalam Kubu Penyebutan Orang Rimba pertama kali dengan berakhiran huruf ‘o’ pada disertasi tersebut dipertentangkan oleh beberapa antropolog meski tidak ada perbedaan makna, tetapi akhiran ‘o’ pada sebutan Orang Rimbo merupakan dialek Melayu Jambi dan Minang.
Tentang asal usul Suku Anak Dalam (Muchlas, 1975) menyebutkan adanya berbagai hikayat dari penuturan lisan yang dapat ditelusuri seperti Cerita Buah Gelumpang.
Dari hakikat tersebut Muchlas menarik kesimpulan bahwa Anak Dalam berasal dari tiga turunan yaitu:
1.Keturunan dari Sumatera Selatan, umumnya tinggal di wilayah Kabupaten Batanghari.
2.Keturunan dari Minangkabau, umumnya di Kabupaten Bungo Tebo sebagian Mersam (Batanghari).
3.Keturunan dari Jambi Asli yaitu Kubu Air Hitam Kabupaten Sarolangun Bangko (Muchlas, 1975)
Menurut Van Dongen (1906) dalam Tempo (2002), menyebutkan bahwa orang rimba sebagai orang primitif yang taraf kemampuannya masih sangat rendah dan tak beragama. mereka melakukan transaksi dengan bersembunyi di dalam hutan dan melakukan barter, mereka meletakkannya di pinggir hutan, kemudian orang melayu akan mengambil dan menukarnya.
Senada dengan Bernard Hagen (1908) dalam Tempo (2002) (die orang kubu auf Sumatra) menyatakan orang rimba sebagai orang pra melayu yang merupakan penduduk asli Sumatera. Demikian pula Paul Bescrta mengatakan bahwa orang rimba adalah proto melayu (melayu tua) yang ada di semenanjung Melayu yang terdesak oleh kedatangan melayu muda.

C. Karakteristik dan Kultur Suku Kubu

Ciri-ciri fisik dan non fisik
Suku anak dalam termasuk golongan ras mongoloid yang termasuk dalam migrasi pertama dari manusia proto melayu. kulit sawo matang, rambut agak keriting, telapak kaki tebal, laki-laki dan perempuan yang dewasa banyak makan sirih.
Ciri fisik lain yang menonjol adalah penampilan gigi mereka yang tidak terawat dan berwarna kecoklatan. Hal ini terkait dengan kebiasaan mereka yang dari kecil nyaris tidak berhenti merokok serta rambut yang terlihat kusut karena jarang disisir dan hanya dibasahi saja.

Budaya Melangun
Pada masa sekarang apabila terjadi kematian di suatu daerah, juga tidak seluruh anggota Suku Anak Dalam tersebut yang pergi melangun. Hanya angota keluarga-keluarga mendiang saja yang melakukannya.
Seloko dan Mantera
Kehidupan Suku Anak Dalam sangat dipengaruhi oleh aturan-aturan hukum yang sudah diterapkan dalam bentuk seloko-seloko yang secara tegas dijadikan pedoman hukum oleh para pemimpin Suku, khususnya Tumenggung dalam membuat suatu keputusan. Seloko juga menjadi pedoman dalam bertutur kata dan bertingkah laku serta dalam kehidupan bermasyarakat Suku Anak Dalam. Bentuk seloko itu antara lain:
1.Bak emas dengan suasa .
2.Mengaji di atas surat
3.Banyak daun tempat berteduh
4.Titian galling tenggung negeri (Tidak ke sini juga tidak kesana/labil)

Besale

kata besale dapat diartikan secara harafiah duduk bersama untuk bersama-sama memohon kepada Yang Kuasa agar diberikan kesehatan, ketentraman dan dihindarkan dari mara bahaya.
Kepercayaan
Komunitas adat terpencil Suku Anak Dalam pada umumnya mempunyai kepercayaan terhadap dewa, istilah ethnic mereka yakni dewo dewo. Mereka mempercayai adanya dewa yang mendatangkan kebajikan jika mereka menjalankan aturannya.
Pengelolaan Sumberdaya Alam
Orang Rimba yang selama hidupnya dan segala aktifitas dilakukan di hutan. Hutan, yang bagi mereka merupakan harta yang tidak ternilai harganya, tempat mereka hidup, beranak-pinak, sumber pangan, sampai pada tempat dilakukannya adat istiadat yang berlaku bagi mereka.
Orang Rimba mengenal wilayah peruntukan seperti adanya Tanoh Peranokon, rimba, ladang, sesap, belukor dan benuaron. Peruntukan wilayah merupakan rotasi penggunaan sumber daya hutan dari rimba menjadi lading dan kemudian menjadi sesap.

D. Sistem Kekerabatan
Sistem kekerabatan orang Rimba adalah matrilineal yang sama dengan system kekerabatan budaya Minangkabau.Orang Rimba tidak diperbolehkan memanggil istri atau suami dengan namanya, demikian pula antara adik dengan kakak dan antara anak dengan orang tua. Mereka juga tidak menyebut nama orang yang sudah meninggal dunia. Sebenarnya menyebut nama seseorang dianggap tabu oleh orang Rimba.
Kebudayaan orang Rimba juga mengenal sistem pelapisan sosial. Temenggung adalah pemimpin utama dalam struktur kelompok.

E. Organisasi Sosial dan Kelompok Masyarakat pada Suku Kubu

Masyarakat Suku Anak Dalam hidup secara berkelompok, Mereka bebas untuk tinggal bersama dengan kelompok lain. Namun mereka tidak dengan mudah berganti-ganti kelompok/tumenggungnya karena terdapat hukum adat yang mengaturnya
. Susunan organisasi sosial pada masyarakat Suku Anak Dalam terdiri dari:
1.Tumenggung, Kepala adat/Kepala masyarakat
2.Wakil Tumenggung, Pengganti Tumenggung jika berhalangan
3.Menti, Menyidang orang secara adat/hakim
Kepemimpinan Anak Dalam tidak bersifat mutlak, mereka sekarang dipilih berdasarkan pengajuan Tumenggung disetujui seluruh anggota. Menurut Temenggung Tarib, jumlah kelompok yang diwakili oleh Temenggung naik dari 3 kelompok pada tahun 1980an.
F. Kehidupan Masyarakat Suku Kubu
Makanan
Mereka sudah banyak yang menggunakan beras sebagai makanan pokok sehari-hari. Sebenarnya makanan pokok mereka waktu dahulu adalah segala jenis umbi-umbian yang tumbuh di hutan, seperti keladi, ubi kayu, ubi jalar, umbi silung dan binatang buruan seperti babi hutan, rusa, kancil dan lain-lain.





Pakaian
Meraka pada umumnya tidak berpakaian, namun mereka menggunakan cawat kain untuk menutupi kemaluannya. Dahulu aslinya mereka menggunakan cawat dari kulit kayu terap atau serdang, namun karena cawat dari kulit kayu sering menimbulkan rasa sakit akibat kutu kayu yang masuk ke dalam kulit, sehingga mereka meninggalkannya dan beralih dengan kain yang mereka beli di pasar melalui masyarakat umum.
Tingkat kemampuan intelektual suku anak dalam dapat disebut masih rendah dan temperamen mereka pada umumnya keras dan pemalu. Walaupun masih terbatas, tetapi sudah terjadi interaksi sosial dengan masyarakat luas sehingga keterbukaan terhadap nilai nilai budaya luar semakin tampak.

G. Peralatan, Komunikasi & Seni Suku Kubu

sebagai orang yang memiliki harta benda minimal, termasuk barang seni dan alat teknologi .Kelihatannya menurut kosmologi orang Rimba, mereka tidak terdorong atau tergoda mempunyai harta benda. Ada kerajinan yang dibuat dari bambu, daun, rotan, rumput, kayu dan kulit. Seperti tikar untuk membungkus barang atau sebagai tempat tidur, dan wadah untuk tempat menyimpan, untuk membawa barang dan untuk melengkapi sistem adat, atau sebagai alat tukar-menukar dalam upacara perkawinan.
Pada umumnya, saat mereka pergi ke pasar mingguan atau keluar hutan untuk pergi ke dusun, laki-laki sering memakai celana dan perempuan menutupi badannya agar mereka
tidak merasa malu, demi menghormati budaya dusun serta agar diterima dengan baik.
H. Wilayah Persebaran Suku Kubu
Daerah yang didiami oleh Suku Anak Dalam ada di kawasan Taman Nasional Bukit XII antara lain terdapat di daerah Sungai Sorenggom, Sungai Terap dan Sungai Kejasung Besar/Kecil, Sungai Makekal dan Sungai Sukalado. Nama-nama daerah tempat mereka bermukim mengacu pada anak-anak sungai yang ada di dekat permukiman mereka.
Cagar Biosfer, adalah karena kawasan ini memenuhi ciri-ciri atau kriteria yang sifatnya kualitatif yang mengacu pada kriteria umum Man and Biosphere Reserve Program, UNESCO seperti berikut:
1.Merupakan kawasan yang mempunyai keperwakilan ekosistem yang masih alami dan kawasan yang sudah mengalami degradasi, modifikasi dan atau binaan.
2.Mempunyai komunitas alam yang unik, langka dan indah.
3.Merupakan landscape atau bentang alam yang cukup luas yang mencerminkan interaksi antara komunitas alami dengan manusia beserta kegiatannya secara harmonis.
4.Merupakan tempat bagi penyelenggaraan pemantauan perubahan perubahan ekologi melalui kegiatan penelitian dan pendidikan (Dirjen PHPA, 1993)..
kawasan Cagar Biosfer Bukit Duabelas terletak diantara lima kabupaten, yaitu kabupaten sarolangun, merangin, bungo, tebo dan batang hari. Kawasan yang di diami orang rimba ini secara geografis adalah kawasan yang dibatasi oleh batang tabir di sebelah barat, batang tembesi.di kawasan Cagar Biosfer Bukit Duabelas terdapat tiga kelompok Orang Rimba yaitu kelompok Air Hitam di bagian selatan kawasan. Orang Rimba hidup dalam kelompok kelompok kecil yang selalu menempati wilayah bantaran sungai baik di badan sungai besar ataupun di anak sungai dari hilir sampai ke hulu.
Walaupun mereka jarang menggunakan sungai sebagai tempat membersihkan dirinya, tetapi keberadaan sungai sebagai sarana kehidupan mereka terutama untuk kebutuhan air minum, sehingga pemukiman mereka selalu diarahkan tidak jauh dari anak anak sungai.
Wilayah Taman Nasional Bukit XII memiliki beberapa tempat tinggal lain di kaki bukitnya, dengan Bukit Dua Belas sebagai titik sentralnya. Dinamakan Bukit Dua Belas karena menurut Suku Anak Dalam, bukit ini memliki 12 undakan untuk sampai dipuncaknya. Di tempat inilah menurut mereka banyak terdapat roh nenek moyang mereka, dewa-dewa dan hantu-hantu yang bisa memberikan kekuatan.

Sejarah Suku Anak Dalam Kubu

Sejarah Suku Anak Dalam Kubu
Sejarah Suku Anak Dalam atau SAD masih penuh misteri, bahkan hingga kini tak ada yang bisa memastikan asal usul mereka. Hanya beberapa teori, dan cerita dari mulut ke mulut para keturunan yang bisa menguak sedikit sejarah mereka.
Sejarah lisan Orang Rimba selalu diturunkan para leluhur. Tengganai Ngembar (80), pemangku adat sekaligus warga tertua SAD yang tinggal di Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) Jambi, mendapat dua versi cerita mengenai sejarah Orang Rimba dari para terdahulu. Ia memperkirakan dua versi ini punya keterkaitan.
Yang pertama, leluhur mereka adalah orang Maalau Sesat, yang meninggalkan keluarga dan lari ke hutan rimba di sekitar Air Hitam, TNBD. Mereka kemudian dinamakan Moyang Segayo.
Sedangkan versi kedua, penghuni rimba adalah masyarakat Pagaruyung, Sumatera Barat, yang bermigrasi mencari sumber-sumber penghidupan yang lebih baik. Diperkirakan karena kondisi keamanan tidak kondusif atau pasokan pangan tidak memadai di Pagaruyung, mereka pun menetap di hutan itu.
Versi kedua ini lebih banyak dikuatkan dari segi bahasa, karena terdapat sejumlah kesamaan antara bahasa rimba dan Minang. Orang Rimba juga menganut sistem matrilineal, sama dengan budaya Minang. Dan yang lebih mengejutkan, Orang Rimba mengenal Pucuk Undang Nang Delapan, terdiri atas hukum empat ke atas dan empat ke bawah, yang juga dikenal di ranah Minang.
Di Kabupaten Tanah Datar sebagai pusat Kerajaan Pagaruyung sendiri, terdapat sebuah daerah, yaitu Kubu Kandang. Merekalah yang diperkirakan bermigrasi ke beberapa wilayah di Jambi bagian barat.
Sedangkan perilaku Orang Rimba yang kubu atau terbelakang, menurut Ngembar, disebabkan beratus tahun moyang mereka hidup di tengah hutan, tidak mengenal peradaban. Kehidupan mereka sangat dekat dan bergantung pada alam. “Kami beranak pinak dalam rimba, makan sirih, berburu, dan meramu obat alam, sehingga lupa dengan peradaban orang desa. Kami terbentuk jadi Orang Rimba,” tuturnya.
Mereka hidup seminomaden, karena kebiasaannya berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Tujuannya, bisa jadi “melangun” atau pindah ketika ada warga meninggal, menghindari musuh, dan membuka ladang baru. Orang Rimba tinggal di pondok-pondok, yang disebut sesudungon, bangunan kayu hutan, berdinding kulit kayu, dan beratap daun serdang benal.
Hasil survei Kelompok Konservasi Indonesia (KKI) Warsi tahun 2004 menyatakan, jumlah keseluruhan Orang Rimba di TNBD ada 1.542 jiwa. Mereka menempati hutan yang kemudian dinyatakan kawasan TNBD, terletak di perbatasan empat kabupaten, yaitu Batanghari, Tebo, Merangin, dan Sarolangun. Hingga tahun 2006, paling sedikit terdapat 59 kelompok kecil Orang Rimba. Beberapa ada yang mulai hidup dan menyatukan diri dengan kehidupan desa sekitarnya. Namun sebagian besar masih tinggal di hutan dan menerapkan hukum adat sebagaimana nenek moyang dahulu.
Selain di TNBD, kelompok- kelompok Orang Rimba juga tersebar di tiga wilayah lain. Populasi terbesar terdapat di Bayung Lencir, Sumatera Selatan, sekitar 8.000 orang. Mereka hidup pada sepanjang aliran anak-anak sungai keempat (lebih kecil dari sungai tersier), seperti anak Sungai Bayung Lencir, Sungai Lilin, dan Sungai Bahar. Ada juga yang hidup di Kabupaten Sarolangun, sepanjang anak Sungai Limun, Batang Asai, Merangin, Tabir, Pelepak, dan Kembang Bungo, jumlahnya sekitar 1.200 orang.
Kelompok lainnya menempati Taman Nasional Bukit Tigapuluh, sekitar 500 orang.
Karena tidak dekat dengan peradaban dan hukum modern, Orang Rimba memiliki sendiri hukum rimba. Mereka menyebutnya seloka adat.

Ada satu seloka yang bisa menjelaskan tentang Orang Rimba: Bertubuh onggok
berpisang cangko
beratap tikai
berdinding baner
melemak buah betatal
minum air dari bonggol kayu.

Ada lagi: berkambing kijang
berkerbau tenu
bersapi ruso

Mereka sehari-harinya tanpa baju, kecuali cawat penutup kemaluan. Rumahnya hanyalah beratap rumbia dan dinding dari kayu.

Cara hidup dengan makan buah-buahan di hutan, berburu, dan mengonsumsi air dari sungai yang diambil dengan bonggol kayu. Makanan mereka bukan hewan ternak, tetapi kijang, ayam hutan, dan rusa.
Identitas Orang Rimba yang tertuang lewat seloka, membedakannya dari orang terang – sebutan untuk masyarakat di desa.
Mereka membuat seloka tentang orang terang: berpinang gayur
berumah tanggo
berdusun beralaman
beternak angso

Seloka yang muncul lewat mimpi juga memberi panduan mengenai hidup sosial di rimba. Aturan-aturan Orang Rimba memang tidak jauh dari Pucuk Undang Nang Delapan, yang dibawa dari minang. Aturan rimba sendiri melarang adanya pembunuhan, pencurian, dan pemerkosaan. Inilah larangan terberat, yang jika dilanggar akan dikenai hukuman 500 lembar kain. Jumlah kain sebanyak itu dinilai sangat berat, dan sangat sulit disanggupi, karenanya Orang Rimba berusaha untuk mematuhi.
Kisah yang dituturkan Ngembar tak berbeda jauh dengan warga Suku Anak Dalam (SAD) di kawasan lain TNBD. Tumenggung Tarib, pimpinan di salah satu rombongan SAD, mengemukakan bahwa mereka adalah keturunan Kerajaan Pagaruyung (dharmacraya) yang merantau ke Jambi. Untuk sejarah lisan ini, menurut Tarib, diturunkan sampai enam generasi ke bawah.
Terdesak penjajahan
Johan Weintre, salah seorang peneliti antropologi asal Australia, yang juga pernah menetap di hutan rimba Taman Nasional Bukit Dua belas (TNBD), menuliskan, Kerajaan Sriwijaya menguasai Selat Malaka serta melakukan perniagaan dan memiliki hubungan sosial dengan mancanegara, termasuk Tiongkok dan Chola, sebuah kerajaan di India Selatan. Sekitar tahun 1025, Kerajaan Chola menyerang Kerajaan Sriwijaya dan menguasai daerahnya. Lalu sebagian penduduk yang tidak ingin dikuasai penjajah, mengungsi ke hutan. Mereka kemudian disebut kubu, membangun komunitas baru di daerah terpencil.
Sebenarnya, masyarakat SAD tidak jauh berbeda dengan masyarakat lain di sekitarnya. Pengaruh Minang tidak hanya lekat di sana, namun juga pada daerah sekitarnya, wilayah Kabupaten Sarolangun, Merangin, Bungo, dan Muaro Tebo, yang mengitari kawasan TNBD.
Salah satu buktinya, masyarakat adat melayu kuno di Kuto Rayo, Kecamatan Tabir, Kabupaten Merangin, juga memegang hukum adat Pucuk Undang Nang Delapan dari Minang, dan menganut sistem matrilineal. Sejarah mereka juga kaum pelarian pada Perang Sriwijaya.


sumber : http://delvinet.wordpress.com/2009/05/17/makalah-suku-anak-dalam-jambi/

Kamis, 09 Mei 2013

Tarian adat jambi




Asal usul tari sekapur sirih
Asal usul tari sekapur sirih


Asal usul tari sekapur sirih – Tari Sekapur Sirih merupakan kesenian tari selamat datang yang diperuntukan kepada tamu-tamu besar. Tarian sekapur sirih berasal dari Provinsi Jambi dan Riau.Selain itu tari sekapur sirih juga terkenal di malaysia sebagai tarian wajib kepada tamu besar
Asal usul tari sekapur sirih memiliki makna Keagungan dalam gerak yang lembut dan halus menyatu dengan iringan musik serta syair yang ditujukan bagi para tamu. Menyambut dengan hati yang putih muka yang jernih menunjukkan keramahtamahan bagi tetamu yang dihormati.
Tari sekapur sirih menggambarkan ungkapan rasa putih hati masyarakat dalam menyambut tamu. Sekapur Sirih biasanya ditarikan oleh 9 orang penari perempuan, dan 3 orang penari laki-laki, 1 orang yang bertugas membawa payung dan 2 orang pengawal.
Propetri atau alat yang digunakan tari sekapur sirih :
  • Cerano/wadah yang berisikan lembaran daun sirih
  • payung
  • keris
  • Pakaian: baju kurung /adat Jambi
  • iringan musik langgam melayu dengan alat musik yang terdiri dari : biola, gambus, akordion, rebana, gong dan gendang.
Demikian artikel mengenai Asal usul tari sekapur sirih
Artikel yang terkait dengan Asal usul sejarah tari sekapur sirih : Pengertian tari sekapur sirih, sinopsis tari sekapur sirih, tari sekapur sirih dari jambi, Asal usul tari sekapur sirih, tari selampit delapan, tari sekapur sirih bengkulu.

Pakaian Tradisional Jambi


Pakaian tradisional Jambi seperti yang ada di daerah Pulau Sumatera yang lain, juga disebut dengan pakaian Adat Melayu. Pakaian adat melayu Jambi biasanya lebih mewah daripada pakaian yang digunakan sehari-hari karena disulam dengan benang emas dan dihiasi dengan berbagai hiasan untuk kelengkapannya.

BUDAYA JAMBI

Berdasarkan cerita rakyat setempat, nama Jambi berasal dari perkataan "jambe" yang berarti "pinang". Nama ini ada hubungannya dengan sebuah legenda yang hidup dalam masyarakat, yaitu legenda mengenai Raja Putri Selaras Pinang Masak, yang ada kaitannya dengan asal-usul provinsi Jambi.
Penduduk asli Provinsi Jambi terdiri dari beberapa suku bangsa, antara lain Melayu Jambi, Batin, Kerin­ci, Penghulu, Pindah, Anak Dalam (Kubu), dan Bajau. Suku bangsa yang disebutkan pertama merupakan pen­duduk mayoritas dari keseluruhan penduduk Jambi, yang bermukim di sepanjang dan sekitar pinggiran sungai Batanghari.
Suku Kubu atau Anak Dalam dianggap sebagai suku tertua di Jambi, karena telah menetap terlebih dahulu sebelum kedatangan suku-suku yang lain. Mereka diperkirakan meru­pakan keturunan prajurit-prajurit Minangkabau yang bermaksud mem­perluas daerah ke Jambi. Ada sementara informasi yang menyatakan bahwa su­ku ini merupakan keturunan dari per­campuran suku Wedda dengan suku Negrito, yang kemudian disebut seba­gai suku Weddoid.
Orang Anak Dalam dibedakan atas suku yang jinak dan liar. Sebutan "ji­nak" diberikan kepada golongan yang telah dimasyarakatkan, memiliki tem­pat tinggal yang tetap, dan telah mengenal tata cara pertanian. Se­dangkan yang disebut "liar" adalah mereka yang masih berkeliaran di hutan-hutan dan tidak memiliki tempat tinggal tetap, belum mengenal sistem bercocok tanam, serta komunikasi dengan dunia luar sama sekali masih tertutup.
Suku-suku bangsa di Jambi pada umumnya bermukim di daerah pede­saan dengan pola yang mengelompok. Mereka yang hidup menetap tergabung dalam beberapa larik (kumpulan rumah panjang beserta pekarang­annya). Setiap desa dipimpin oleh seorang kepala desa (Rio), dibantu oleh mangku, canang, dan tua-tua tengganai (dewan desa). Mereka inilah yang bertugas mengambil keputusan yang menyangkut kepentingan hidup ma­syarakat desa.
Strata Sosial masyarakat di Jambi tidak mempunyai suatu konsepsi yang jelas tentang sistem pelapisan sosial dalam masyarakat. Oleh sebab itu jarang bahkan tidak pernah terdengar istilah-­istilah atau gelar-gelar tertentu untuk menyebut lapisan-lapisan sosial dalam masyarakat. Mereka hanya mengenal sebutan-sebutan yang "kabur" untuk menunjukkan status seseorang, seperti orang pintar, orang kaya, orang kam­pung dsb.
Pakaian Pada awalnya masyarakat pede­saan mengenal pakaian sehari-hari berupa kain dan baju tanpa lengan. Akan tetapi setelah mengalami proses akulturasi dengan berbagai kebu­dayaan, pakaian sehari-hari yang dikenakan kaum wanita berupa baju kurung dan selendang yang dililitkan di kepala sebagai penutup kepala. Sedangkan kaum pria mengenakan celana setengah ruas yang mengge­lembung pada bagian betisnya dan umumnya berwarna hitam, sehingga dapat leluasa bergerak dalam mela­kukan pekerjaan sehari-hari. Pakaian untuk kaum pria ini dilengkapi deng­an kopiah.
Kesenian di Provinsi Jambi yang terkenal antara lain Batanghari, Kipas perentak, Rangguk, Sekapur sirih, Selampit delapan, Serentak Satang.
Upacara adat yang masih dilestarikan antara lain Upacara Lingkaran Hidup Manusia, Kelahiran, Masa Dewasa, Perkawinan, Berusik sirih bergurau pinang, Duduk bertuik, tegak betanyo, ikat buatan janji semayo, Ulur antar serah terimo pusako dan Kematian 
Filsafat Hidup Masyarakat Setempat: Sepucuk jambi sembilan lurah, batangnyo alam rajo.



sumber :  http://sigombak.blogspot.com/2008/05/berdasarkan-cerita-rakyat-setempat-nama.html

JAMBI


BUDAYA JAMBI
1.    ASAL USUL PEMBERIAN NAMA JAMBI




Ada beberapa versi tentang awal pemberian nama jambi, antara lain:
  1. Nama Jambi muncul sejak daerah yang berada di pinggiran sungai batanghari ini dikendalikan oleh seorang ratu bernama Puteri Selaras Pinang Masak, yaitu semasa keterikatan dengan Kerajaan Majapahit. Waktu itu bahasa keraton dipengaruhi bahasa Jawa, di antaranya kata pinang disebut jambe. Sesuai dengan nama ratunya“Pinang Masak”, maka kerajaan tersebut dikatakan Kerajaan Melayu Jambe. Lambat laun rakyat setempat umumnya menyebut “Jambi”.
  2. Kemungkinan besar saat Tanah Pilih dijadikan tapak pembangunan kerajaan baru, pohon pinang banyak tumbuh di sepanjang aliran sungai Batanghari, sehingga nama itu yang dipilih oleh Orang Kayo Hitam.
  3. Berpedoman pada buku sejarah De Oudste Geschiedenis van de Archipel bahwa Kerajaan Melayu Jambi dari abad 7 s.d. abad 13 merupakan bandar atau pelabuhan dagang yang ramai. Di sini berlabuh kapal-kapal dari berbagai bangsa, seperti: PortugisIndiaMesirCina, Arab, dan Eropa lainnya. Berkenaan dengan itu, sebuah legenda yang ditulis oleh Chaniago menceritakan bahwa sebelum Kerajaan Melayu jatuh ke dalam pengaruh Hindu, seorang puteri Melayu bernama Puteri Dewani berlayar bersama suaminya dengan kapal niaga Mesir ke Arab, dan tidak kembali. Pada waktu lain, seorang putri Melayu lain bernama Ratna Wali bersama suaminya berlayar ke Negeri Arab, dan dari sana merantau ke Ruhum Jani dengan kapal niaga Arab. Kedua peristiwa dalam legenda itu menunjukkan adanya hubungan antara orang Arab dan Mesir dengan Melayu. Mereka sudah menjalin hubungan komunikasi dan interaksi secara akrab.
    Kondisi tersebut melahirkan interpretasi bahwa nama Jambi bukan tidak mungkin berasal dari ungkapan-ungkapan orang Arab atau Mesir yang berkali-kali ke pelabuhan Melayu ini. Orang Arab atau Mesir memberikan julukan kepada rakyat Melayu pada masa itu sebagai ”Ja
    mbi”, ditulis dengan aksara Arab: , yang secara harfiah berarti ’sisi’ atau ’samping’, secara kinayah (figuratif) bermakna ’tetangga’ atau ’sahabat akrab’.
  4. Kata Jambi ini sebelum ditemukan oleh Orang Kayo Hitam atau sebelum disebut Tanah Pilih, bernama Kampung Jam, yang berdekatan dengan Kampung Teladan, yang diperkirakan di sekitar daerah Buluran Kenali sekarang. Dari kata Jam inilah akhirnya disebut “Jambi”.
  5. Menurut teks Hikayat Negeri Jambi, kata Jambi berasal dari perintah seorang raja yang bernama Tun Telanai, untuk untuk menggali kanal dari ibukota kerajaan hingga ke laut, dan tugas ini harus diselesaikan dalam tempo satu jam. Kata jam inilah yang kemudian menjadi asal kata Jambi.







LOGO PROVINSI JAMBI:





LOGO KOTA JAMBI:


Bahasa Melayu Jambi


Bahasa Melayu Jambi atau Baso Jambi adalah salah satu anak cabang bahasa Austronesia yang dituturkan khususnya di wilayah Jambi, bagian selatan propinsi Riauserta tersebar di berbagai kota di seluruh Indonesia.
Terdapat dua kontroversi mengenai Bahasa Jambi dengan bahasa Melayu. Sebagian pakar bahasa menganggap bahasa ini sebagai dialek Melayu, karena banyaknya kesamaan kosakata dan bentuk tuturan didalamnya. Sedangkan yang lain justru beranggapan bahasa ini merupakan bahasa mandiri yang berbeda dengan Melayu.

Suku Kerinci

Suku Kerinci adalah suku bangsa yang mendiami wilayah kabupaten Kerinci provinsi Jambi. Populasi suku Kerinci pada sensus tahun 1996 berjumlah sekitar 300.000 orang.

Suku Kerinci adalah suatu bangsa yang tergolong dalam kelompok Melayu, tetapi menurut dugaan para peneliti sejarah, bahwa suku Kerinci ini justru lebih tua dari suku-suku Melayu lainnya yang pada umumnya mendominasi wilayah Sumatra mulai dari provinsi Riau hingga Sumatra bagian selatan. Naskah Melayu tertua ditemukan di Kerinci, dan pada abad ke-14 Kerinci menjadi bagian dari kerajaan Malayu dengan Dharmasraya sebagai ibu kota. Setelah Adityawarman menjadi maharaja maka ibu kota dipindahkan ke Saruaso dekat Pagaruyung di Tanah Datar.


Suku Kerinci berbicara dalam bahasa Kerinci yang masihberkerabat erat dengan bahasa Minangkabau dan bahasa Melayu Jambi. Bahasa Kerinci memiliki banyak dialek tersebar di beberapa tempat di Kerinci dalam wilayah kabupaten Kerinci. Hanya dalam berkomunikasi dengan orang luar, mereka menggunakan bahasa Melayu atau bahasa Indonesia (yang mereka sebut bahasa Melayu Tinggi). Dalam budaya suku Kerinci juga dikenal tulisan yang disebut aksara Incung, yang merupakan salah satu variasi surat ulu.

danau Kerinci
Asal usul suku Kerinci sendiri tidak diketahui secara pasti darimana berasal, beberapa cerita mengatakan bahwa suku Kerinci adalah dahulunya para perantau Minangkabau, yang membuka pemukiman di daerah Kerinci, hidup sekian lama dan terbentuklah suku Kerinci seperti sekarang.
Pendapat lain, mengatakan bahwa suku Kerinci justru lebih tua dari suku-suku Melayu yang ada, termasuk lebih tua dari suku Minangkabau. Kedatangan suku Kerinci diduga berasal dari daratan Indochina, yang pada masa ribuan tahun yang lalu memasuki wilayah pulau Sumatra, dan menetap di dataran tinggi sekitar gunung Kerinci. Melihat kebiasaan mereka yang hidup di dataran tinggi dan di sekitar danau, kemungkinan mereka dahulunya satu rumpun dengan bangsa-bangsa Proto Malayo yang memang menyukai daerah dataran tinggi dan mengisolasi diri di pedalaman.
Adanya penemuan artefak purbakala di wilayah Kerinci, menjelaskan bahwa sebelum orang Kerinci hadir di wilayah ini, telah ada manusia lain yang pernah hidup di wilayah Kerinci, tapi diduga penemuan artefak purbakala tersebut adalah sisa-sisa dari bangsa weddoid atau melanosoid yang pernah hidup di wilayah Sumatra ini, jauh ribuan tahun sebelum hadirnya bangsa-bangsa Proto Malayo dan Deutro Malayo. Beberapa keturunan bangsa weddoid yang masih tersisa bisa ditemukan di Sumatra adalah suku Lubu dan suku Kubu, hanya saja selama ribuan tahun telah terjadi percampuran ras, sehingga ras weddoid pada suku Lubu dan Kubu, sudah tercampur dengan ras Melayu yang pada umumnya memiliki ras Mongoloid.

Van Vollenhoven, seorang penulis dari Belanda memasukkan suku Kerinci ke dalam wilayah adat Sumatera Selatan. Tetapi kalau dilihat dari kedekatan adat-istiadat serta bahasa, sepertinya suku Kerinci masih lebih dekat dan berkerabat dengan orang-orang Minangkabau. Kemungkinan pada masa dahulu terjadi hubungan kekerabatan antara kedua suku bangsa ini. Selain itu sistem keturunan dalam masyarakat Kerinci memakai sistem matrilineal seperti pada masyarakat suku Minangkabau.

salah satu tarian suku Kerinci
Pada awal keberadaan suku Kerinci, hidup dalam kelompok kecil yang menetap di pemukiman yang mereka sebut“duseung” (dusun). Sebuah dusun dihuni oleh masyarakat dari satu akar kelompok keturunan yang satu keturunan berdasarkan garis keturunan matrilineal.

Pada setiap “duseoung” atau dusun terdapat beberapa “Laheik Jajou/ Larik” atau Rumah Panjang yang dibangun secara menempel yang dihubungkan dengan pintu dari satu rumah ke rumah yang lain. Setiap larik dibangun dalam ciri khas budaya Kerinci. Setiap Larik memiliki Tetua Suku, dan setap Larik diberi nama sesuai dengan suku (marga) yang tinggal di Larik tersebut. Dalam Larik terdapat beberapa Tumbi. Tumbi adalah kelompok kecil masyarakat di dalam Larik.

Selanjutnya kelompok terpenting diantara Tumbu Tumbi yang ada di sebut Kalbu, dalam Kalbu terdapat Pemangku Adat yang mengatur jalannya kehidupan masyarakat dalam kalbu. Gabungan dari beberapa Duseoung (Dusun) dan kelompok masyarakat adat di sebutKemendapoan yang dipimpin oleh Mendapo.

Status dusun sebenarnya geogragis saja, petunjuk atau lantak adanya suatu negeri, mendirikan dusun erat dengan faktor air yaitu di tepi sungai atau danau. Bagi masyarakat Kerinci, negeri adalah semacam desa/ kelurahan yang memiliki pemerintahan adat.

Suku Bajau- Jambi

Suku Bajau Jambi, adalah salah satu suku petualang laut yang hidup di pesisir pantai provinsi Jambi.

Dahulu Suku Bajau Jambi ini adalah suku bangsa petualang laut yang menjelajah laut dari satu tempat ke tempat yang lain. Mereka sebenarnya tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Dari Sumatra-Riau, Sulawesi Selatan dan Tenggara, Kalimantan, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sumenep Madura hingga ke wilayah Filipina, Malaysia dan beberapa tempat di Indochina. Hanya saja di tempat-tempat baru mereka tersebut, kemungkinan mereka memiliki sebutan lain untuk nama kelompok mereka.

Asal-usul suku Bajau ini menimbulkan banyak pendapat, salah satunya mengatakan suku Bajau berasal dari Kepulauan Sulu di Filipina Selatan. Mereka merupakan suku bangsa nomaden yang hidup di atas laut, dengan sebutan sea gipsy atau gipsi laut. Karena mereka telah tersebar-sebar di segala penjuru Asia Tenggara ini, bahasa yang mereka gunakan juga berbeda-beda. Suku Bajau di Filipina memakai bahasa Sama-Bajau, sedangkan yang di Sumatra menggunakan bahasa Melayu yang lebih tua dari bahasa Melayu di Sumatra. Begitu juga suku Bajau yang berada di daerah-daerah lain, biasa menggunakan bahasa yang berbeda lagi. Bahasa Bajau diperkirakan lebih dari 30 dialek bahasa Bajau.
Pendapat lain suku Bajau adalah salah satu dari kelompok Proto Malayan yang bermigrasi ke wilayah Asia Tenggara yang berasal dari daratan Indochina, yang mendarat di pantai sebelah barat Sumatra, dan beberapa pulau-pulau kecil di Kepulauan Riau. Setelah sekian lama sebagian dari mereka melakukan perjalanan di laut dan mendarat di Semenanjung Malaysia dan di pulau-pulau lain seperti di Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan lain-lain.

Sejak ratusan tahun yang lalu mereka sudah menyebar ke negeri Sabah dan berbagai wilayah Indonesia. Suku Bajau juga merupakan salah satu suku bangsa di negeri Sabah. Suku Bajau di Kalimantan diperkirakan bermigrasi dari arah utara (Filipina) pada zaman prasejarah. Suku Bajau merupakan gelombang terakhir migrasi dari arah utara Kalimantan yang memasuki pesisir Kalimantan Timur hingga Kalimantan Selatan dan menduduki pulau-pulau sekitarnya, lebih dahulu dari kedatangan suku-suku pendatang lain dari rumpun Bugis.

Suku Bajau Jambi ini hidup sangat sederhana, dari segi ekonomi dan pendidikan masih jauh dari baik. Suku ini hidup di rumah-rumah di atas air. Mereka hidup dan melakukan aktifitas rumah tangga dan keluarga di rumah-rumah mereka yang terbuat dari papan yang berada di atas permukaan air laut dekat dengan pesisir pantai laut.

Orang Bajau masih percaya terhadap hal-hal takhyul seperti percaya bahwa laut itu berpenghuni. Mereka menempatkan unsur api, angin, tanah, dan air dengan nilai sakral tinggi. Keempat unsur ini merupakan cerminan empat unsur penting lainnya, yaitu tubuh, hati, roh dan manusia.

Kehidupan masyarakat suku Bajau Jambi ini hanya menggantungkan hidup dari profesi sebagai nelayan di laut. Jarang sekali dijumpai mereka hidup dalam bentuk usaha lain, seperti petani, pedagang dan pegawai. Walaupun sebagian dari mereka telah hidup di darat, tetapi tetap mengalami berbagai persoalan. Kehidupan masyarakat suku Bajau ini kerap terpinggirkan dari komunitas masyarakat lainnya.

Sumber : http://protomalayans.blogspot.com/2012/09/suku-bajau-jambi.html

Suku Kubu - Jambi



Suku Kubu atau juga dikenal dengan Suku Anak Dalam atau Orang Rimbaadalah salah satu suku bangsa minoritas yang hidup di Pulau Sumatra, tepatnya di Provinsi Jambi dan Sumatera Selatan. Mereka mayoritas hidup di propinsi Jambi, dengan perkiraan jumlah populasi sekitar 200.000 orang.
Menurut tradisi lisan suku Anak Dalam merupakan orang Maalau Sesat, yang m lari ke hutan rimba di sekitar Air Hitam, Taman Nasional Bukit Duabelas. Mereka kemudian dinamakan Moyang Segayo. Tradisi lain menyebutkan mereka berasal dari Pagaruyung, yang mengungsi ke Jambi. Ini diperkuat kenyataan adat suku Anak Dalam punya kesamaan bahasa dan adat dengansuku Minangkabau, seperti sistem matrilineal.
Secara garis besar di Jambi mereka hidup di 3 wilayah ekologis yang berbeda, yaitu Orang Kubu yang di utara Provinsi Jambi (sekitaran Taman Nasional Bukit 30), Taman Nasional Bukit 12, dan wilayah selatan Provinsi Jambi (sepanjang jalan lintas Sumatra). Mereka hidup secara nomaden dan mendasarkan hidupnya pada berburu dan meramu, walaupun banyak dari mereka sekarang telah memiliki lahan karet dan pertanian lainnya.
Kehidupan mereka sangat mengenaskan seiring dengan hilangnya sumber daya hutan yang ada di Jambi dan Sumatera Selatan, dan proses-proses marginalisasi yang dilakukan oleh pemerintah dan suku bangsa dominan (Orang Melayu) yang ada di Jambi dan Sumatera Selatan.
Mayoritas suku kubu menganut kepercayaan animisme, tetapi ada juga beberapa puluh keluarga suku kubu yang pindah ke agama Islam.

Selasa, 07 Mei 2013

Definisi/Pengertian Antropologi, Objek, Tujuan, Dan Cabang Ilmu Antropologi


Antropologi adalah suatu studi ilmu yang mempelajari tentang manusia baik dari segi budaya, perilaku, keanekaragaman, dan lain sebagainya. Antropologi adalah istilah kata bahasa Yunani yang berasal dari kata anthropos dan logos. Anthropos berarti manusia dan logos memiliki arti cerita atau kata.
Objek dari antropologi adalah manusia di dalam masyarakat suku bangsa, kebudayaan dan prilakunya. Ilmu pengetahuan antropologi memiliki tujuan untuk mempelajari manusia dalam bermasyarakat suku bangsa, berperilaku dan berkebudayaan untuk membangun masyarakat itu sendiri.
Macam-Macam Jenis Cabang Disiplin Ilmu Anak Turunan Antropologi :
A. Antropologi Fisik
1. Paleoantrologi adalah ilmu yang mempelajari asal usul manusia dan evolusi manusia dengan meneliti fosil-fosil.
2. Somatologi adalah ilmu yang mempelajari keberagaman ras manusia dengna mengamati ciri-ciri fisik.
B. Antropologi Budaya
1. Prehistori adalah ilmu yang mempelajari sejarah penyebaran dan perkembangan budaya manusia mengenal tulisan.
2. Etnolinguistik antrologi adalah ilmu yang mempelajari suku-suku bangsa yang ada di dunia / bumi.
3. Etnologi adalah ilmu yang mempelajari asas kebudayaan manusia di dalam kehidupan masyarakat suku bangsa di seluruh dunia.
4. Etnopsikologi adalah ilmu yang mempelajari kepribadian bangsa serta peranan individu pada bangsa dalam proses perubahan adat istiadat dan nilai universal dengan berpegang pada konsep psikologi.
Di samping itu ada pula cabang ilmu antropologi terapan dan antropologi spesialisasi. Antropology spesialisasi contohnya seperti antropologi politik, antropologi kesehatan, antropologi ekonomi, dan masih banyak lagi yang lainnya.