Selasa, 28 Mei 2013

Sejarah Suku Anak Dalam Kubu

Sejarah Suku Anak Dalam Kubu
Sejarah Suku Anak Dalam atau SAD masih penuh misteri, bahkan hingga kini tak ada yang bisa memastikan asal usul mereka. Hanya beberapa teori, dan cerita dari mulut ke mulut para keturunan yang bisa menguak sedikit sejarah mereka.
Sejarah lisan Orang Rimba selalu diturunkan para leluhur. Tengganai Ngembar (80), pemangku adat sekaligus warga tertua SAD yang tinggal di Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) Jambi, mendapat dua versi cerita mengenai sejarah Orang Rimba dari para terdahulu. Ia memperkirakan dua versi ini punya keterkaitan.
Yang pertama, leluhur mereka adalah orang Maalau Sesat, yang meninggalkan keluarga dan lari ke hutan rimba di sekitar Air Hitam, TNBD. Mereka kemudian dinamakan Moyang Segayo.
Sedangkan versi kedua, penghuni rimba adalah masyarakat Pagaruyung, Sumatera Barat, yang bermigrasi mencari sumber-sumber penghidupan yang lebih baik. Diperkirakan karena kondisi keamanan tidak kondusif atau pasokan pangan tidak memadai di Pagaruyung, mereka pun menetap di hutan itu.
Versi kedua ini lebih banyak dikuatkan dari segi bahasa, karena terdapat sejumlah kesamaan antara bahasa rimba dan Minang. Orang Rimba juga menganut sistem matrilineal, sama dengan budaya Minang. Dan yang lebih mengejutkan, Orang Rimba mengenal Pucuk Undang Nang Delapan, terdiri atas hukum empat ke atas dan empat ke bawah, yang juga dikenal di ranah Minang.
Di Kabupaten Tanah Datar sebagai pusat Kerajaan Pagaruyung sendiri, terdapat sebuah daerah, yaitu Kubu Kandang. Merekalah yang diperkirakan bermigrasi ke beberapa wilayah di Jambi bagian barat.
Sedangkan perilaku Orang Rimba yang kubu atau terbelakang, menurut Ngembar, disebabkan beratus tahun moyang mereka hidup di tengah hutan, tidak mengenal peradaban. Kehidupan mereka sangat dekat dan bergantung pada alam. “Kami beranak pinak dalam rimba, makan sirih, berburu, dan meramu obat alam, sehingga lupa dengan peradaban orang desa. Kami terbentuk jadi Orang Rimba,” tuturnya.
Mereka hidup seminomaden, karena kebiasaannya berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Tujuannya, bisa jadi “melangun” atau pindah ketika ada warga meninggal, menghindari musuh, dan membuka ladang baru. Orang Rimba tinggal di pondok-pondok, yang disebut sesudungon, bangunan kayu hutan, berdinding kulit kayu, dan beratap daun serdang benal.
Hasil survei Kelompok Konservasi Indonesia (KKI) Warsi tahun 2004 menyatakan, jumlah keseluruhan Orang Rimba di TNBD ada 1.542 jiwa. Mereka menempati hutan yang kemudian dinyatakan kawasan TNBD, terletak di perbatasan empat kabupaten, yaitu Batanghari, Tebo, Merangin, dan Sarolangun. Hingga tahun 2006, paling sedikit terdapat 59 kelompok kecil Orang Rimba. Beberapa ada yang mulai hidup dan menyatukan diri dengan kehidupan desa sekitarnya. Namun sebagian besar masih tinggal di hutan dan menerapkan hukum adat sebagaimana nenek moyang dahulu.
Selain di TNBD, kelompok- kelompok Orang Rimba juga tersebar di tiga wilayah lain. Populasi terbesar terdapat di Bayung Lencir, Sumatera Selatan, sekitar 8.000 orang. Mereka hidup pada sepanjang aliran anak-anak sungai keempat (lebih kecil dari sungai tersier), seperti anak Sungai Bayung Lencir, Sungai Lilin, dan Sungai Bahar. Ada juga yang hidup di Kabupaten Sarolangun, sepanjang anak Sungai Limun, Batang Asai, Merangin, Tabir, Pelepak, dan Kembang Bungo, jumlahnya sekitar 1.200 orang.
Kelompok lainnya menempati Taman Nasional Bukit Tigapuluh, sekitar 500 orang.
Karena tidak dekat dengan peradaban dan hukum modern, Orang Rimba memiliki sendiri hukum rimba. Mereka menyebutnya seloka adat.

Ada satu seloka yang bisa menjelaskan tentang Orang Rimba: Bertubuh onggok
berpisang cangko
beratap tikai
berdinding baner
melemak buah betatal
minum air dari bonggol kayu.

Ada lagi: berkambing kijang
berkerbau tenu
bersapi ruso

Mereka sehari-harinya tanpa baju, kecuali cawat penutup kemaluan. Rumahnya hanyalah beratap rumbia dan dinding dari kayu.

Cara hidup dengan makan buah-buahan di hutan, berburu, dan mengonsumsi air dari sungai yang diambil dengan bonggol kayu. Makanan mereka bukan hewan ternak, tetapi kijang, ayam hutan, dan rusa.
Identitas Orang Rimba yang tertuang lewat seloka, membedakannya dari orang terang – sebutan untuk masyarakat di desa.
Mereka membuat seloka tentang orang terang: berpinang gayur
berumah tanggo
berdusun beralaman
beternak angso

Seloka yang muncul lewat mimpi juga memberi panduan mengenai hidup sosial di rimba. Aturan-aturan Orang Rimba memang tidak jauh dari Pucuk Undang Nang Delapan, yang dibawa dari minang. Aturan rimba sendiri melarang adanya pembunuhan, pencurian, dan pemerkosaan. Inilah larangan terberat, yang jika dilanggar akan dikenai hukuman 500 lembar kain. Jumlah kain sebanyak itu dinilai sangat berat, dan sangat sulit disanggupi, karenanya Orang Rimba berusaha untuk mematuhi.
Kisah yang dituturkan Ngembar tak berbeda jauh dengan warga Suku Anak Dalam (SAD) di kawasan lain TNBD. Tumenggung Tarib, pimpinan di salah satu rombongan SAD, mengemukakan bahwa mereka adalah keturunan Kerajaan Pagaruyung (dharmacraya) yang merantau ke Jambi. Untuk sejarah lisan ini, menurut Tarib, diturunkan sampai enam generasi ke bawah.
Terdesak penjajahan
Johan Weintre, salah seorang peneliti antropologi asal Australia, yang juga pernah menetap di hutan rimba Taman Nasional Bukit Dua belas (TNBD), menuliskan, Kerajaan Sriwijaya menguasai Selat Malaka serta melakukan perniagaan dan memiliki hubungan sosial dengan mancanegara, termasuk Tiongkok dan Chola, sebuah kerajaan di India Selatan. Sekitar tahun 1025, Kerajaan Chola menyerang Kerajaan Sriwijaya dan menguasai daerahnya. Lalu sebagian penduduk yang tidak ingin dikuasai penjajah, mengungsi ke hutan. Mereka kemudian disebut kubu, membangun komunitas baru di daerah terpencil.
Sebenarnya, masyarakat SAD tidak jauh berbeda dengan masyarakat lain di sekitarnya. Pengaruh Minang tidak hanya lekat di sana, namun juga pada daerah sekitarnya, wilayah Kabupaten Sarolangun, Merangin, Bungo, dan Muaro Tebo, yang mengitari kawasan TNBD.
Salah satu buktinya, masyarakat adat melayu kuno di Kuto Rayo, Kecamatan Tabir, Kabupaten Merangin, juga memegang hukum adat Pucuk Undang Nang Delapan dari Minang, dan menganut sistem matrilineal. Sejarah mereka juga kaum pelarian pada Perang Sriwijaya.


sumber : http://delvinet.wordpress.com/2009/05/17/makalah-suku-anak-dalam-jambi/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar