Sejarah Suku Anak Dalam Kubu
Sejarah Suku Anak Dalam atau SAD masih penuh misteri, bahkan hingga
kini tak ada yang bisa memastikan asal usul mereka. Hanya beberapa
teori, dan cerita dari mulut ke mulut para keturunan yang bisa menguak
sedikit sejarah mereka.
Sejarah lisan Orang Rimba selalu diturunkan para leluhur. Tengganai
Ngembar (80), pemangku adat sekaligus warga tertua SAD yang tinggal di
Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) Jambi, mendapat dua versi cerita
mengenai sejarah Orang Rimba dari para terdahulu. Ia memperkirakan dua
versi ini punya keterkaitan.
Yang pertama, leluhur mereka adalah orang Maalau Sesat, yang
meninggalkan keluarga dan lari ke hutan rimba di sekitar Air Hitam,
TNBD. Mereka kemudian dinamakan Moyang Segayo.
Sedangkan versi kedua, penghuni rimba adalah masyarakat
Pagaruyung, Sumatera Barat, yang bermigrasi mencari sumber-sumber
penghidupan yang lebih baik. Diperkirakan karena kondisi keamanan tidak
kondusif atau pasokan pangan tidak memadai di Pagaruyung, mereka pun
menetap di hutan itu.
Versi kedua ini lebih banyak dikuatkan dari segi bahasa, karena
terdapat sejumlah kesamaan antara bahasa rimba dan Minang. Orang Rimba
juga menganut sistem matrilineal, sama dengan budaya Minang. Dan yang
lebih mengejutkan, Orang Rimba mengenal Pucuk Undang Nang Delapan,
terdiri atas hukum empat ke atas dan empat ke bawah, yang juga dikenal
di ranah Minang.
Di Kabupaten Tanah Datar sebagai pusat Kerajaan Pagaruyung sendiri,
terdapat sebuah daerah, yaitu Kubu Kandang. Merekalah yang diperkirakan
bermigrasi ke beberapa wilayah di Jambi bagian barat.
Sedangkan perilaku Orang Rimba yang kubu atau terbelakang, menurut
Ngembar, disebabkan beratus tahun moyang mereka hidup di tengah hutan,
tidak mengenal peradaban. Kehidupan mereka sangat dekat dan bergantung
pada alam. “Kami beranak pinak dalam rimba, makan sirih, berburu, dan
meramu obat alam, sehingga lupa dengan peradaban orang desa. Kami
terbentuk jadi Orang Rimba,” tuturnya.
Mereka hidup seminomaden, karena kebiasaannya berpindah dari satu
tempat ke tempat lainnya. Tujuannya, bisa jadi “melangun” atau pindah
ketika ada warga meninggal, menghindari musuh, dan membuka ladang baru.
Orang Rimba tinggal di pondok-pondok, yang disebut sesudungon, bangunan
kayu hutan, berdinding kulit kayu, dan beratap daun serdang benal.
Hasil survei Kelompok Konservasi Indonesia (KKI) Warsi tahun 2004
menyatakan, jumlah keseluruhan Orang Rimba di TNBD ada 1.542 jiwa.
Mereka menempati hutan yang kemudian dinyatakan kawasan TNBD, terletak
di perbatasan empat kabupaten, yaitu Batanghari, Tebo, Merangin, dan
Sarolangun. Hingga tahun 2006, paling sedikit terdapat 59 kelompok kecil
Orang Rimba. Beberapa ada yang mulai hidup dan menyatukan diri dengan
kehidupan desa sekitarnya. Namun sebagian besar masih tinggal di hutan
dan menerapkan hukum adat sebagaimana nenek moyang dahulu.
Selain di TNBD, kelompok- kelompok Orang Rimba juga tersebar di tiga
wilayah lain. Populasi terbesar terdapat di Bayung Lencir, Sumatera
Selatan, sekitar 8.000 orang. Mereka hidup pada sepanjang aliran
anak-anak sungai keempat (lebih kecil dari sungai tersier), seperti anak
Sungai Bayung Lencir, Sungai Lilin, dan Sungai Bahar. Ada juga yang
hidup di Kabupaten Sarolangun, sepanjang anak Sungai Limun, Batang Asai,
Merangin, Tabir, Pelepak, dan Kembang Bungo, jumlahnya sekitar 1.200
orang.
Kelompok lainnya menempati Taman Nasional Bukit Tigapuluh, sekitar 500 orang.
Karena tidak dekat dengan peradaban dan hukum modern, Orang Rimba memiliki sendiri hukum rimba. Mereka menyebutnya seloka adat.
Ada satu seloka yang bisa menjelaskan tentang Orang Rimba:
Bertubuh onggok
berpisang cangko
beratap tikai
berdinding baner
melemak buah betatal
minum air dari bonggol kayu.
Ada lagi:
berkambing kijang
berkerbau tenu
bersapi ruso
Mereka sehari-harinya tanpa baju, kecuali cawat penutup kemaluan. Rumahnya hanyalah beratap rumbia dan dinding dari kayu.
Cara hidup dengan makan buah-buahan di hutan, berburu, dan
mengonsumsi air dari sungai yang diambil dengan bonggol kayu. Makanan
mereka bukan hewan ternak, tetapi kijang, ayam hutan, dan rusa.
Identitas Orang Rimba yang tertuang lewat seloka, membedakannya dari orang terang – sebutan untuk masyarakat di desa.
Mereka membuat seloka tentang orang terang:
berpinang gayur
berumah tanggo
berdusun beralaman
beternak angso
Seloka yang muncul lewat mimpi juga memberi panduan mengenai hidup
sosial di rimba. Aturan-aturan Orang Rimba memang tidak jauh dari Pucuk
Undang Nang Delapan, yang dibawa dari minang. Aturan rimba sendiri
melarang adanya pembunuhan, pencurian, dan pemerkosaan. Inilah larangan
terberat, yang jika dilanggar akan dikenai hukuman 500 lembar kain.
Jumlah kain sebanyak itu dinilai sangat berat, dan sangat sulit
disanggupi, karenanya Orang Rimba berusaha untuk mematuhi.
Kisah yang dituturkan Ngembar tak berbeda jauh dengan warga Suku Anak
Dalam (SAD) di kawasan lain TNBD. Tumenggung Tarib, pimpinan di salah
satu rombongan SAD, mengemukakan bahwa mereka adalah keturunan Kerajaan
Pagaruyung (dharmacraya) yang merantau ke Jambi. Untuk sejarah lisan
ini, menurut Tarib, diturunkan sampai enam generasi ke bawah.
Terdesak penjajahan
Johan Weintre, salah seorang peneliti antropologi asal Australia,
yang juga pernah menetap di hutan rimba Taman Nasional Bukit Dua belas
(TNBD), menuliskan, Kerajaan Sriwijaya menguasai Selat Malaka serta
melakukan perniagaan dan memiliki hubungan sosial dengan mancanegara,
termasuk Tiongkok dan Chola, sebuah kerajaan di India Selatan. Sekitar
tahun 1025, Kerajaan Chola menyerang Kerajaan Sriwijaya dan menguasai
daerahnya. Lalu sebagian penduduk yang tidak ingin dikuasai penjajah,
mengungsi ke hutan. Mereka kemudian disebut kubu, membangun komunitas
baru di daerah terpencil.
Sebenarnya, masyarakat SAD tidak jauh berbeda dengan masyarakat lain
di sekitarnya. Pengaruh Minang tidak hanya lekat di sana, namun juga
pada daerah sekitarnya, wilayah Kabupaten Sarolangun, Merangin, Bungo,
dan Muaro Tebo, yang mengitari kawasan TNBD.
Salah satu buktinya, masyarakat adat melayu kuno di Kuto Rayo,
Kecamatan Tabir, Kabupaten Merangin, juga memegang hukum adat Pucuk
Undang Nang Delapan dari Minang, dan menganut sistem matrilineal.
Sejarah mereka juga kaum pelarian pada Perang Sriwijaya.
sumber : http://delvinet.wordpress.com/2009/05/17/makalah-suku-anak-dalam-jambi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar